Saya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Bapak dan ibuku sukses
memiliki anak sepasang, perempuan dan laki-laki. Sebagian orang memang
beranggapan demikian. Sudah lengkap rasanya jika memiliki anak laki-laki dan
perempuan, dua anak saja cukup, tidak ada alasan untuk menambah momongan lagi. Lain
halnya dengan pasangan suami istri yang baru memiliki anak dengan jenis kelamin
yang sama, pasangan itu akan berusaha untuk menambah momongan dengan harapan
bisa mendapatkan anak dengan jenis kelamin yang berbeda. Hal ini sering terjadi
dengan saudara atau kerabat saya. Padahal mereka sering bilang, anak laki-laki
dan perempuan sama saja. Tapi toh nyatanya tetap mengharapkan untuk dapat
memiliki anak sepasang, laki-laki dan perempuan.
Keluargaku adalah contoh keluarga yang mengikuti slogan Keluarga
Berencana, Dua Anak Cukup. Tetapi ibuku sudah meninggal sekitar 4 tahun lalu,
jadi kami saat ini tinggal bertiga, saya, adek laki-lakiku dan bapak. Bapak
adalah seorang Pujakesuma, Putra Jawa
Kelahiran Sumatera. Bapak memang dilahirkan di Sumatera, namun besar di
Jawa bersama dengan mbah kakung dan mbah utinya. Walaupun tinggal bersama
kakek dan neneknya, bapak tidak dimanja sama sekali, seperti yang kebanyakan
dilakukan oleh kakek dan nenek terhadap cucunya. Apapun yang cucunya mau, akan
berusaha untuk dituruti. Hal ini tidak terjadi pada bapak. Ketika bapak
menginginkan sesuatu, bapak harus berusaha sendiri. Tidak langsung diberi
dengan cuma-cuma. Misalkan ketika bapak ingin minta uang jajan pada kakeknya, maka bapak akan diminta untuk membantu berjualan terlebih dahulu di warung milik kakeknya. Ketika akan
berbicara dengan kakek atau neneknya, bapak diwajibkan untuk berbicara dengan
Bahasa Jawa Krama Inggil. Bahasa Jawa
Krama Inggil adalah bahasa yang
digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati. Apa yang
terjadi jika bapak berbicara dengan Bahasa Indonesia atau bahkan dengan Bahasa
Jawa Ngoko? Bapak tidak akan
didengarkan sama sekali. Bahasa Jawa Ngoko adalah bahasa yang digunakan untuk
berbicara dengan teman sebaya, dianggap kurang sopan apabila digunakan untuk
berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Apa yang dilakukan oleh kakek dan nenek buyut saya bukan karena mereka tidak sayang pada bapak saya. Justru karena mereka sayang, maka bapak saya dididik dengan cara seperti itu. Mereka tidak ingin bapak tumbuh menjadi lelaki yang lemah, manja, dan tidak tangguh. Karena
terbiasa dididik untuk tidak dimanja, akhirnya bapak bisa hidup mandiri. Bapak tidak menggantungkan hidupnya pada kedua orangtuanya. Bapak tumbuh menjadi lelaki yang tangguh.
Mungkin dari latar belakang itu, bapak ingin anaknya juga tumbuh menjadi
anak yang mandiri dan tidak manja. Tidak menggantungkan semuanya pada orangtua.
Bapak memang cenderung keras dalam mendidik anaknya, terutama masalah
pendidikan. Bapak akan marah jika anaknya malas untuk belajar. Seperti yang
terjadi sore itu, ketika saya dan adek malah
asyik menonton televisi, padahal saat itu adalah JBM (Jam Belajar Mayarakat)
dan besok pagi kami harus sekolah. Bapak keluar dari kamar dan berkata, “Arep dadi uwong opo uwuh?” Saya dan adek
terdiam sesaat untuk memikirkan makna dari ungkapan yang diucapkan bapak. Bapak
bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Bapak itu cenderung sedikit bicara,
tetapi sekalinya bicara, yang keluar adalah seperti ungkapan atau nasihat pada
anaknya.
Uwong dan Uwuh, kedua kata itu sedikit mirip pengucapannya. Namun memiliki
makna yang jauh berkebalikan. Uwong dalam
Bahasa Indonesia bermakna orang. Orang yang dimaksud di sini bukan lagi orang
dalam artian sebagai manusia, tetapi lebih pada orang yang memiliki nilai di
masyarakat. Mungkin lebih mengarah pada orang yang sudah sukses dan telah menjadi sesuatu. Bisa saja karena orang tersebut memiliki pendidikan yang tinggi
sehingga dihormati oleh masyarakat. Atau ketika orang sukses menjadi pengusaha
besar setelah memulai usahanya dari kecil. Ada berbagai cara agar kita bisa
menjadi “orang”. Apapun bisa dilakukan, mulai dari hal yang kecil. Misalkan ketika kita masih sebagai pelajar, maka kita bisa memulai usaha dengan belajar.
Sedangkan Uwuh bermakna sampah.
Sampah di sini bukan bermakna sebatas sisa bahan yang tidak dipakai dan harus
dibuang, melainkan “sampah” dalam masyarakat. “Sampah” dalam masyarakat yaitu
orang yang dianggap hanya memberikan efek negative bagi lingkungan. Orang yang keberadaannya cenderung tidak
diharapkan karena dianggap hanya meresahkan masyarakat. Saya yakin, tidak ada
orang yang ingin menjadi “sampah” dalam masyarakat.
Dengan ungkapan Arep
dadi uwong opo uwuh, bapak ingin menegaskan pada kedua anaknya, akan
menjadi bagian masyarakat yang mana. Bagian masyarakat yang uwong kah atau uwuh kah? Tentu kami memilih untuk menjadi uwong. Apakah cukup dengan ingin menjadi uwong tanpa ada usaha? Tentu tidak. Kami harus konsisten dengan pilihan yang sudah kami pilih. Memilih untuk menjadi uwong berarti kami harus berusaha agar bisa menjadi "orang". Bagaimana caranya? Karena kami masih berstatus sebagai pelajar dan mahasiswi, yang bisa kami lakukan adalah dengan belajar dan rajin membaca. Setelah menyelesaikan study kami, kami diberi pilihan untuk menjadi apapun sesuai dengan minat kami. Selain itu kami juga harus bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungan kami, sehingga masyarakat tahu bahwa kami ada. Bukan hanya sekedar hidup dan sibuk dengan rutinitas sehari-hari dan tidak menyempatkan diri untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Kita bisa berbuat sesuatu untuk masyarakat, menyumbang apapun yang kita bisa, tenaga, ide atau materi.
Semoga kita semua bisa menjadi "orang" dengan cara kita masing-masing, dan bukan menjadi "sampah" bagi masyarakat.
4 komentar:
Betul sekali, uwuh tempatnya ya di pawuan, siap dimusnahkan biar nggak menuh2in tempat :) Peribahasa yg tepat sekali digunakan agar anak2 tdk menyia2kan waktu mudanya utk hal2 yg tak berguna.
makasih mbak, iya.. jangan sampai waktunya terbuang sia-sia.. terus berusaha untuk jadi "orang" :)
Jangan jadi sampah, jadilah manusia yang berguna ya...
siaaappppp, insya ALLAH :)
Post a Comment